Braille alphabet |
Berita Alkitab itu diperuntukkan bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia, bukankah begitu?
Akan tetapi, . . . bagaimana dengan manusia yang
tidak dapat melihat? Bagaimana dengan manusia yang tidak dapat
mendengar? Bagaimana dengan manusia yang memang dapat melihat dan
mendengar, namun tidak dapat membaca? Bukankah mereka itu juga berhak
memperoleh berita Alkitab?
Ada bermacam-macam cara menyampaikan Firman Allah
kepada orang-orang yang buta, yang tuli, atau yang buta huruf.
Akan tetapi, . . . bagaimana kalau ada orang-orang
tertentu yang tidak begitu berminat belajar membaca? Bagaimana kalau ada
suku terasing yang sama sekali tidak peduli akan hal tulisan atau bahan
cetakan? Bagaimana kalau menurut adat kebiasaan suku itu, segala
sesuatu sebaiknya disampaikan secara lisan saja.
Untuk orang-orang seperti itu, ada banyak pengabar
Injil di seluruh dunia yang suka menyampaikan inti Alkitab berupa
serangkaian cerita. Mereka bercerita mulai dengan penciptaan alam, dan
mencapai puncaknya dengan menceritakan kematian dan kebangkitan Yesus
Kristus.
Kadang-kadang ada cerita-cerita Alkitab yang direkam; lalu
rekaman itu diputar di daerah pemukiman yang terpencil. Kadang-kadang
ada juga gambar-gambar sederhana yang dapat turut menjelaskan "Alkitab
lisan" itu.
Lain lagi masalahnya di negeri Jepang. Konon, bangsa
Jepang pada umumnya sangat maju dan berpendidikan tinggi. Namun bagi
orang Jepang yang tuli, besar halanggannya jika ia hendak membaca
Alkitab. Sama seperti kaum tuna rungu di negeri-negeri lain, orang-orang
tuli di Jepang itu dapat berkomunikasi melalui isyarat tangan. Akan
tetapi, bahasa Jepang yang disampaikan melalui isyarat itu, agak berbeda
dengan bahasa Jepang yang ditulis. Banyak seluk beluk yang harus
diperagakan dengan raut muka dan sikap badan. Oleh karena itu, orang
tuli di Jepang amat sulit membaca Alkitab dengan penuh pengertian, walau
dalam bahasanya sendiri sekalipun.
Pada tahun 1993, sekelompok umat Kristen di Jepang
mulai menyediakan Firman Allah dalam bentuk yang sungguh lain daripada
yang lain. Seorang Jepang yang pandai memperagakan bahasa isyarat itu
berturut-turut "membacakan" seluruh isi Kitab Injil Markus.
Semua
gerak-geriknya itu diabadikan dengan bantuan sebuah kamera video. Lalu
rekaman video itu diperbanyak dan diedarkan kepada orang-orang tuli di
seluruh Jepang. Barulah mereka benar-benar dapat menangkap seluruh arti
Berita Baik tentang Tuhan Yesus.
Boleh dikatakan, orang-orang Jepang itu
memperoleh Firman Tuhan melalui mata yang mendengar.
Mungkin kisah nyata yang paling menarik tentang
berbagai macam usaha sepanjang abad untuk menyediakan Alkitab bagi
orang-orang yang ada kelainannya itu, ialah cerita tentang jari yang
melihat. Cerita itu dimulai hampir dua abad yang lalu, dengan seorang
bocah Perancis bernama Louis Braile . . . .
Louis Braile dilahirkan pada tahun 1809, di sebuah
desa yang letaknya tiga puluh kilometer di sebelah timur ibu kota Paris.
Ayahnya seorang tukang pembuat tali-temali. Si Louis suka bermain
dengan sisa-sisa kulit binatang yang dipakai di bengkel ayahnya. Pada
suatu hari, ketika ia berusaha membuat lubang dengan penggerek, alat itu
selip dan mengenai pada bola matanya.
Sebagai akibat kecelakaan itu, Louis Braille menjadi
buta sama sekali. Namun ia masih tetap ingin belajar tentang segala
sesuatu, masih tetap ingin menikmati hidupnya sepenuhnya. Dengan bantuan
orang tua dan kakak-kakaknya, bocah tuna netra itu menemukan
berbagai-bagai cara untuk memanfaatkan setiap kecakapan yang masih ada
padanya. Misalnya: Bila ia mencium bau daging ayam, bawang, dan kentang,
ia tahu bahwa ibunya sedang memasak sup. Bila ia mendengar bunyi
gerabak-gerubuk roda besar di jalan, ia tahu bahwa tetanggannya sedang
membawa hasil tani ke pasar.
Tetapi anggota tubuh yang paling menolong si Louis
untuk mengalami keanekaragaman dunia di sekitarnya itu ialah, kesepuluh
jarinya. Dengan jari-jarinya itu ia dapat menjamah sehingga dapat
membedakan buah apel dengan buah jeruk, alat penggerek dengan alat
pengikis, kotak kecil dengan buku besar.
Nah, buku-buku itu! Khususnya buku-buku yang menarik
perhatian si Louis. Ia senang mendengar cerita yang disampaikan oleh
orang lain. Namun dalam hatinya ia bertanya: Kapan aku dapat membaca
sendiri buku-buku yang memuat cerita-cerita itu?
Pada umur sepuluh tahun, Louis Braille meninggalkan
rumah orang tuanya dan pergi ke Paris, karena ia telah diterima di
sebuah sekolah khusus untuk anak-anak buta. Ia sangat merindukan
keluarganya. Namun ia senang dapat pergi ke sekolah, karena ia telah
mendengar, di sekolah itu anak-anak tuna netra pun dapat belajar membaca
buku.
Memang di sekolah itu ada buku-buku khusus untuk
orang buta. Setiap buku itu besar sekali, karena di dalamnya setiap
huruf harus dicetak menonjol. Dengan menjamah huruf-huruf yang besar itu
satu persatu, si Louis dapat mengenali bentuk tonjolannya. Lalu dengan
susah payah ia dapat mengingat deretan huruf-huruf yang digabung itu
sehingga menjadi kalimat.
Perlahan-lahan saja cara Louis Braille dapat
membaca! Namun dalam waktu yang singkat, ia telah berhasil membaca semua
buku yang ada di perpustakaan sekolah khusus itu.
"Mahal sekali mencetak sebuah buku gede dengan
huruf-huruf yang menonjol begini!" para guru menjelaskan kepadanya. "Kau
tidak usah mengharapkan orang akan mencetak banyak buku semacam itu."
Louis Braille sungguh merasa kecewa pada saat ia
menyadari bahwa jumlah buku dalam perpustakaan khusus di sekolah
anak-anak buta di ibu kota itu kurang dari dua puluh jilid. Tetapi ia
berbesar hati bila para guru mulai mengajar ketrampilan-ketrampilan
lain, di samping membaca. Ia menjadi pandai memainkan piano, organ, dan
selo (semacam alat musik gesek yang mirip biola tetapi ukurannya lebih
besar). Ada juga bengkel pembuat sepatu di sekolah itu, dan si Louis
begitu rajin bekerja sehingga ia ditunjuk menjadi mandornya.
Pada umur dua belas tahun, Louis Braille sempat
bertemu dengan mantan guru kepala sekolah khusus itu, yakni orang yang
mula-mula medapat gagasan mencetak buku-buku besar dengan huruf-huruf
menonjol. Si Louis sangat menghargai jasa guru pensiunan yang sudah tua
itu. Namun ia pun rindu menemukan suatu cara untuk menghasilkan banyak
buku bagi orang buta, dan bukan hanya sedikit saja.
Rasanya harus ada semacam abjad khusus, kata Louis
Braille pada diri sendiri. Setiap huruf dalam abjad baru itu harus cukup
sederhana, dan harus juga cukup kecil sehingga dapat dirasakan oleh
ujung jari manusia.
Pada waktu liburan sekolah, si Louis pulang ke desa.
Sepanjang masa libur itu, ia tekun mengadakan percobaan dengan
bermacam-macam bahan baku dan alat pertukangan. Ia berusaha menyusun
suatu abjad baru dengan memakai berbagai-bagai bentuk: bulat, segitiga,
dan persegi empat. Bahkan ia berusaha menggunakan tanda-tanda zodiak
sebagai pengganti huruf-huruf biasa. Namun semua usahanya itu sia-sia
belaka.
Bila Louis Braille dan teman-temannya kembali ke
sekolah di ibu kota, kepada mereka guru kepala menyerahkan beberapa
helai kertas tebal dengan bintik-bintik kecil yang terasa menonjol.
"Seorang perwira tentara telah menyesuaikan semacam kode Morse sehingga
dapat dipakai pada waktu malam," kata guru kepala itu. "Di tempat yang
sedang terjadi peperangan, berbahaya sekali pada malam hari jika
menyalakan lilin atau lampu. Jadi, melalui sistem ini, para tentara
dapat menjamah berbagai tonjolan, dan dengan demikian mereka dapat
mengerti perintah yang hendak disampaikan oleh atasan mereka."
Nah, ini dia! kata Louis Braille dalam hati. Ia
sudah menemukan prinsip abjad baru yang sangat dirindukannya itu. Aku
dapat membuat tonjolan-tonjolan kecil seperti ini, dengan menggunakan
alat penggerek dari bengkel ayahku.
Tetapi . . . sistem sang perwira ini
masih kurang praktis, karena tidak cocok dengan ukuran ujung jari
manusia.
Jika manusia menudingkan jari, ujungnya itu
berbentuk lebih meninggi daripada melebar. Jadi, pada kertas tebal si
Louis membuat susunan enam bintik tonjolan; susunan itu tingginya tiga
bintik dan lebarnya dua bintik. Sedikit demi sedikit ia menyusun
berbagai-bagai kombinasi antara keenam bintik tonjolan itu, sehingga
dengan demikian ia dapat membuat sebuah abjad baru. Dan abjad itu dapat
dijamah dengan cepat oleh jari-jari manusia, sehingga dengan demikian
orang buta dapat membaca banyak buku! . . .
Ya, sungguh menakjubkan: Tulisan Braille itu
ditemukan oleh seorang bocah Perancis yang baru berumur 15 tahun. Memang
sistemnya itu masih perlu diperkembangkan dan disempurnakan. Namun
tulisan Braille, yang pada masa kini dikenal di seluruh dunia, semuanya
berasal dari penemuan si Louis pada tahun 1824 itu.
Sebagai seorang dewasa, Louis Braille menjadi guru
anak-anak tuna netra dan pemain organ di gereja. Lama sekali ia harus
memperjuangkan sistem tulisannya itu. Ia pun meninggal tahun 1852 pada
umur relatif muda, sebelum tulisan Braille itu menjadi lazim di
mana-mana. Namun lambat laun sistemnya itu terbukti secara tuntas
sebagai cara yang paling praktis untuk menyediakan banyak buku bagi kaum
tuna netra.
Kitab lengkap yang pertama-tama dicetak dalam
tulisan Braille itu adalah Kitab Mazmur. Contoh singkat yang dipakai
untuk memperkenalkan tulisan Braille dalam bahasa Italia, bahasa
Spanyol, bahasa Jerman, dan bahasa Inggris ialah, Doa Bapa Kami.
Pada
masa sekarang, sudah ada Alkitab tulisan Braille dalam berpuluh-puluh
bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Satu Alkitab lengkap dengan tulisan
abjad khusus pada kertas tebal itu terdiri dua puluh jilid; beratnya 41
kilogram.
Banyak orang buta di seluruh dunia yang dapat
menerima Berita Baik, oleh karena penemuan Louis Braille itu ketika ia
baru berumur 15 tahun. Dengan jari yang melihat, kaum tuna netra di
mana-mana dapat memperoleh Firman Allah dalam bahasa mereka sendiri.
TAMAT
Sumber: https://misi.sabda.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar