Istana Mandalay - Myanmar |
Sudah enam tahun lamanya Adoniram Judson mencoba
mengabarkan Injil di negeri Birma (kini Myanmar). Dengan segala daya
upaya ia membanting tulang, berusaha memberitahu orang-orang Birma
tentang Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta langit dan bumi, dan tentang Yesus
Kristus, satu-satunya Juru Selamat manusia yang berdosa.
Utusan Injil muda dari Amerika Serikat itu sudah
mencoba berbagai macam cara penginjilan. Dengan susah payah ia telah
menerjemahkan Kitab Injil Matius ke dalam bahasa Birma; lalu ia menyuruh
mencetak terjemahannya itu. Tetapi banyak orang Birma yang masih buta
huruf. Dan mereka yang dapat membaca, sering mengejek hasil karya
Adoniram Judson itu.
Pdt. Judson juga sudah berusaha meniru metode
mengajar yang lazim dipakai oleh guru-guru bangsa Birma sendiri. Ia
menyuruh membangun sebuah pendopo untuk dia di pinggir jalan raya.
Pendopo itu dikapur putih bersih, sehingga kelihatan lebih mencolok mata
daripada pendopo-pendopo lainnya.
Sepanjang hari dengan sabar Adoniram Judson duduk di
depan pendoponya itu dan menyerukan kata-kata ajakan dari Kitab Nabi
Yesaya, pasal 55:
Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air,
dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! . . .
Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepada-Ku;
Dengarkankanlah, maka kamu akan hidup!"
Namun kebanyakan orang Birma yang lewat di depan
pendopo Kristen itu masih terus berjalan. Hanya beberapa orang saja yang
cukup berminat, sehingga mereka mampir untuk mendengarkan ajaran guru
asing itu. Dan kebanyakan pengunjung pendopo itu pun tidak mau kembali
lagi untuk yang kedua kalinya.
Ya, sudah jelas, bangsa Birma lebih suka mengikuti
ajaran lain . . . ajaran yang sama sekali tidak memberi janji
kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Mereka tidak mau mendengar
Berita Kesukaan tentang Tuhan Yesus.
Anak Pdt Judson jatuh sakit dan meninggal; Judson
sendiri dan istrinya sering dihinggapi penyakit. Namun ia pantang
mundur. Dan akhirnya pada tahun 1819, ada tiga orang Birma yang percaya
kepada Sang Juru Selamat.
Hanya tiga orang saja, setelah usaha pengabaran
Injil selama enam tahun! Dan ketiga orang itu pun sangat takut terhadap
pemerintah Birma; mereka minta dibaptiskan pada malam hari, di sebuah
perairan yang sepi. Pada waktu itu ada raja baru yang bersemayam di Ava,
ibu kota Birma; rupanya beliau lebih keras lagi melawan ajaran asing
daripada raja yang memerintah sebelumnya.
Dengan sedih Pdt. Judson menutup pendoponya. Ia
khawatir kalau-kalau penginjilan secara terbuka akan dibalas dengan
tindakan kekerasan terhadap ketiga petobat baru itu.
Pelanggar hukum di
Kerajaan Birma pada masa itu bukan hanya dihukum mati saja: Boleh jadi
ia dihukum mati dengan siksaan secara paling kejam.
Seorang pendeta pengantar Injil muda bernama James
Colman datang dari Amerika untuk membantu keluarga Judson. Pada suatu
hari dalam tahun 1819, Pdt. Colman mengusulkan,
"Mengapa kita tidak
pergi saja ke ibu kota dan menghadap raja baru itu? Mengapa kita tidak
minta izin secara terang-terangan untuk menyebarkan ajaran Kristen di
Kerajaan Birma.
Pdt. Judson bertanya, "Kalau ditolak?"
"Lebih baik kalau kita tahu," jawab rekannya yang
masih muda itu. "kalau demikian halnya, mungkin lebih baik kita
meninggalkan saja negeri Birma dan pergi ke tempat lain."
Meninggalkan Birma! Adoniram Judson tidak sampai
hati memikirkan kemungkinan demikian. Bukankah ia telah menghabiskan
masa enam tahun dengan usaha mempelajari bahasa Birma yang amat sulit
itu? Bukankah ia baru mulai melihat hasil jerih payahnya itu, dengan
pertobatan tiga orang Birma?
Namun Pdt. Judson setuju dengan usul Pdt. Colman.
Mereka menyediakan sebuah perahu sungai yang panjang, dengan sepuluh
orang pendayungnya. Perjalanan mereka ke ibu kota Ava itu memakan waktu
35 hari. Di pinggir sungai, di mana-mana mereka melihat patung-patung
berhala yang menandakan bahwa penduduk setempat pasti belum mengenal
Tuhan Yang Maha Esa.
Setiba di ibu kota Ava, mereka pergi ke pintu
gerbang istana raja. Mereka menaiki sebuah tangga yang terbuat dari batu
marmer. Mereka melalui sebuah ruang yang dilapisi kayu eban. Di depan
mereka ada sebuah pintu yang berkilauan dengan batu permata. Lalu pintu
itu dibukakan, dan mereka memasuki ruang takhta. Tiang-tiang dan
langit-langit ruang agung itu berlapiskan emas.
Sementara menunggu kedatangan sang raja, Pdt. Judson
berunding dengan salah seorang menteri kerajaan. Ia menyodorkan hadiah
yang hendak dipersembahkan: sebuah Alkitab bahasa Inggris berukuran
besar, dengan sampul keemasan. Ia juga memperlihatkan salah satu surat
selebaran berbahasa Birma yang telah dikarangnya, serta sepucuk surat
permohonan agar ia diperbolehkan mengajar orang-orang Birma tentang
Tuhan Yesus.
Sang raja masuk dengan segala kebesarannya. Sang
menteri dan para hadirin sujud sampai ke lantai, . . . kecuali kedua
orang asing itu. Mereka hanya berlutut dengan sikap hormat.
Sang raja duduk di atas takhta. Lalu ia menuding seraya bertanya kepada menterinya, "Siapa kedua orang ini?"
Andoniram Judson yang menjawab: "Kami guru-guru agama, hai Baginda yang mulia."
"Wah! Kalian dapat berbicara bahasa Birma?" tanya
sang raja, amat heran. Selama beberapa menit ia bercakap-cakap dengan
Pdt. Judson, dan rupanya ia merasa senang.
Ketika sang raja bertanya tentang maksud kedatangan
kedua orang asing itu, sang menteri maju dengan bertiarap sampai ia
dapat meletakkan persembahan dan permohonan mereka di depan takhta.
Sang raja mulai membaca surat selebaran itu: "Tuhan
yang Maha Esa hidup selama-lamanya, dan di samping Dia tidak ada allah
lain." Dengan muka yang menunjukkan murka sang raja membiarkan surat
selebaran itu jatuh ke lantai.
Sang menteri segera mengantarkan kedua orang asing
itu keluar. Kemudian ia pun menjelaskan keputusan sang raja: "Tidak ada
jawaban atas permohonanmu itu. Dan mengenai tulisan sucimu, sang raja
tidak memerlukannya; bawalah pulang saja."
Dari ibu kota Ava, Adoniram Judson dan James Colman
memang pulang ke kota pelabuhan Yangoon. Mereka telah gagal. Sebaiknya
mereka sekeluarga bersiap-siap pindah ke tempat lain.
Namun . . . heran, ketiga orang Kristen Birma itu,
yang pada mulanya takut dibaptiskan pada siang hari, justru menantang
Pdt. Judson agar bersikap lebih berani. "Tetaplah tinggal dengan kami
sampai ada sepuluh orang yang percaya, Pendeta," mereka membujuk.
"Setelah itu, kalau terpaksa, pergilah, karena selanjutnya kepercayaan
kami akan tersebar dengan sendirinya. Sekalipun sang raja mengancam, tak
mungkin ia dapat mencegahnya!"
Memang ada yang percaya, . . . tetapi Adoniram
Judson tetap tinggal. Dan dalam jangka waktu satu bulan saja, ada
sembilan orang Birma lagi yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus!
Maka Judson pun memberanikan diri untuk berjuang
terus, sambil menerjemahkan Firman Allah ke dalam bahasa Birma. Para
anggota jemaat yang hanya beberapa orang itu berkata bahwa terjemahan
Surat Efesus hasil karya gembala sidang mereka, jauh lebih mudah
dipahami daripada terjemahan Injil Matius yang terdahulu. Pdt. Judson
berbesar hati; ia pun mulai mengusahakan terjemahan Kisah Para Rasul.
Tugas terjemahan itu sulit sekali! Huruf-huruf
bahasa Birma berbeda sama sekali dengan huruf-huruf yang dipakai dalam
semua bahasa lainnya. Apa lagi, tidak ada tanda pemisah antara kata atau
kalimat, misalnya huruf besar atau tanda baca. Tidak ada kamus; tidak
ada buku pedoman tata bahasa. Di samping semua halangan ini, pada zaman
itu tulisan bahasa Birma biasa digores pada daun lontar kering, sehingga
amat sukar untuk dilihat, apa lagi untuk dibaca.
Berita mengenai keberhasilan Adoniran Judson dalam
menguasai bahasa Birma itu sampai ke ibu kota. Sang raja pun berminat,
karena untuk hubungan luar negeri ia sering memerlukan seorang pengalih
bahasa. Maka keluarga Judson dipanggil untuk pindah ke Ava. Tetapi Pdt.
Judson harus menunggu istrinya kembali dari Amerika; Ibu Judson terpaksa
pulang untuk berobat. Sambil menunggu istrinya selama sepuluh bulan di
Yangoon itu, Adoniram Judson berhasil menyelesaikan terjemahan seluruh
Kitab Pernjanjian Baru ke dalam bahasa Birma.
Sesudah sembuh, Ibu Judson kembali, dan mereka
segera pindah ke Ava. Salah seorang anggota jemaat di Yangoon itu ikut
serta sebagai pembantu mereka.
Ternyata cuaca di ibu kota itu panas dan lembab; ini
yang menyebabkan baik Pdt. Judson maupun istrinya sering sakit. Dan
yang payah lagi berkobarlah perang antara Kerajaan Inggris dengan
Kerajaan Birma.
Adoniram Judson seorang Amerika; ia bukan orang
Inggris. Namun semua orang asing yang berkulit putih itu digiring
bersama-sama ke dalam sebuah penjara yang dikhususkan untuk menjalani
siksaan dan hukuman mati. Kedua kaki mereka masing-masing dipasang
rantai seberat enam kilo. Lalu mereka dijebloskan ke dalam ruang penjara
yang paling kotor dan gelap.
Seandainya Ibu Judson tidak setia menolong suaminya,
pasti ia meninggal pada waktu sengsara itu. Tiap hari Ibu Judson datang
dengan membawa makanan segar serta air minum yang bersih. Berkali-kali
ia memberi uang suap kepada para penjaga, agar suaminya mendapat tempat
yang agak sehat, di bawah naungan semacam gubuk di halaman penjara.
Selama beberapa minggu Ibu Judson tidak sanggup
datang sendiri; seorang pembantu menggantikan dia. Lalu ia muncul lagi,
dengan membawa serta bayinya yang baru lahir.
Tentu Pdt. Judson senang melihat bayinya yang mungil
itu, serta istrinya yang sudah sehat kembali. Namun ada hal lain yang
sering menyusahkan pikirannya: Bagaimana dengan naskah tulisan tangannya
itu? Bagaimana dengan satu-satunya salinan Kitab Perjanjian Baru dalam
bahasa Birma?
Di rumah naskah itu kurang aman, karena rumah
keluarga Judson sudah dua kali digeledah tentara kerajaan. Maka Ibu
Judson menjahit sebuah bantal yang sengaja dibuat keras dan kumal, agar
penjaga penjara tidak mengiranya. Di dalam bantal itulah ia memasukkan
naskah Kitab Perjanjian Baru berbahasa Birma.
Selama sebelas bulan Adoniram Judson tidur dengan
kepala bersandarkan bantal yang berisi buku itu. Siang malam ia
menderita; namun ia mengucap syukur kepada Tuhan, karena naskahnya yang
berharga itu masih aman.
Tiba-tiba pada suatu hari semua tahanan disuruh
berderet di halaman penjara. Rantai yang berat itu dilepaskan, lalu
mereka diikat berdua-dua. Judson mohon dengan sangat agar ia boleh
membawa serta bantalnya, sampai-sampai ia menangis dan orang-orang
tahanan lainnya mengejek dia. Namun penjaga yang bengis menyobek bantal
itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Judson dan para tahanan lainnya dipaksa berbaris
sejauh enam belas kilometer di luar kota, di bawah terik matahari. Kaki
mereka berdarah; mulut mereka kekeringan. Ada yang tidak tahan dalam
perjalanan maut itu; ada yang meninggal sebelum tiba di tempat tujuan;
ada juga yang jatuh pingsan di ujung jalan. Namun Pdt. Judson masih
hidup. Dan ia masih tetap terkurung di dalam penjara di luar kota itu,
selama tujuh bulan lagi.
Pada suatu hari ada berita dari sang raja; Ia
memerlukan seorang pengalih bahasa yang pandai berbahasa Inggris dan
bahasa Birma. Maka Adoniram Judson dibebaskan dari penjara, walau masih
tetap dijaga dengan ketat.
Setibanya di ibu kota, yang pertama-tama
dipertanyakan Judson ialah mengenai istri dan anaknya. Para penjaga
memberitahu bahwa kedua orang itu masih selamat. Pertanyaan Judson yang
kedua adalah mengenai bantalnya. Para penjaga tidak tahu, dan tidak
ambil pusing tentang benda yang mereka anggap kurang berharga itu.
Ternyata Kerajaan Birma tidak kuat menghadapi
pasukan perang Kerajaan Inggris. Tentara Birma dipukul kalah. Dalam
perundingan perdamaian, jasa Adoniram Judson sebagai pengalih bahasa itu
sangat diperlukan.
Akhirnya semua tugas yang dituntut sang raja itu
selesai. Pdt. Judson dengan keluarganya boleh kembali ke Yangoon, kota
pelabuhan dan tempat tinggal mereka semula. Di sana mereka kembali
menjumpai orang-orang Kristen Birma, yang selama masa perang itu masih
setia mengikut Tuhan Yesus.
Salah seorang di antara ketiga petobat yang
pertama-tama itu, rupanya sangat senang bertemu kembali dengan gurunya.
"Wah, kami kira Pendeta sudah meninggal! Lagi pula tiada kubur tempat
tinggal kami dapat pergi berrkabung. Namun aku masih tetap memelihara
bantal itu, tempat kepala Pendeta pernah bersandar."
"Bantal?" tanya Adoniram Judson, hampir tidak percaya. "Bantal apa itu?"
"Ya, bantal kecil itu yang dipakai Pendeta waktu di
penjara. Untung aku sempat menyelamatkannya dari tempat sampah sebagai
kenang-kenangan, pada hari itu ketika Pendeta digiring keluar halaman
penjara dalam perjalanan maut."
Dengan tangan gemetar Pdt. Judson menerima kembali
bantal yang kotor dan tersobek itu. Ia sengaja menyobek tutupnya lagi
sehingga rusak sama sekali, dan . . . ternyata naskahnya masih utuh!
Maka dengan semangat baru Adoniram Judson mulai
mengabarkan "isi bantal" itu kepada orang-orang Birma. Tidak lama
kemudian, istri dan anaknya yang tercinta itu meninggal; namun ia
berjuang terus. Dan ia pun meneruskan tugas terjemahan Firman Tuhan itu.
Perkataan Raja Daud dalam Kitab Mazmur yang tengah dialihkannya itu
sering menghibur hatinya yang sedang sedih.
Bertahun-tahun kemudian, pengabar Injil yang setia
itu dikarunia sebuah keluarga baru. Istri keduanya itu melahirkan
beberapa anak; di antara mereka, di kemudian hari ada yang menjadi hamba
Tuhan sama seperti ayahnya.
Baru pada tahun 1835 seluruh Alkitab itu selesai
diterjemahkannya ke dalam bahasa Birma. Namun Judson masih belum puas.
Selama lima tahun ia mendalami lagi tulisan sastra bahasa Birma, baik
prosa maupun puisi. Sering ia meminta pendapat para rekannya, baik
utusan Injil maupun orang Kristen Birma. Akhirnya pada tahun 1840 ia
merasa puas.
Terjemahan Alkitab hasil karyanya yang diterbitkan pada
tahun itu, hingga kini masih tetap dibaca di gereja-gereja di negeri
Myanmar.
Selama tahun-tahun Adoniram Judson berjuang
mati-matian demi tugas penginjilan dan penerjemahannya itu, suatu
gerakan Kristen besar mulai nampak di negeri Birma. Bahkan pada masa
hidup Judson, sudah ada ribuan orang Birma yang percaya kepada Tuhan
Yesus. Dan sekarang, lebih dari satu setengah abad kemudian, ada ratusan
ribu orang Kristen di negeri Myanmar.
Siapa tahu, mungkin semuanya itu tidak akan terjadi,
. . . seandainya tidak ada seorang ibu Amerika yang pandai menjahit,
serta seorang bapak bangsa Birma yang setia menyimpan bantal yang berisi
buku, sampai saat ia menyerahkan kembali kepada pemiliknya!
TAMAT
https://misi.sabda.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar