Ayam jago dan betina |
Di kampung halaman si Bula, jarang ada orang yang
mempunyai kelebihan uang. Di daerah Afrika itu, biasanya orang
tukar-menukar untuk mendapat apa saja yang diperlukan. Tambahan pula, si
Bula hanyalah seorang anak laki-laki; jika kaum dewasa sukunya
kekurangan uang, apa lagi anak-anak!
Bula berjalan pelan-pelan menuju padang, tempat
kambing-kambing sedang merumput. Ia duduk di bawah pohon kecil sambil
terus memeras otak.
"Aku harus mendapat uang," ia bergumam. "Tidak baik
meminta ayahku. Kalau memberi persembahan di gereja, seharusnya itu
uangku sendiri, bukan uang yang dititipkan oleh orang lain."
Muncullah si Walif; ia mau bermain dengan Bula. Tetapi si Bula tidak mau bermain.
"Hatiku tidak tenang karena kata-kata Pendeta Musa tadi pagi," kata Bula.
"Memang mengejutkan," Walif mengiakan. "Sampai sekarang kata-katanya seolah-olah masih dapat kudengar."
"Baru kutahu!" cetus Bula. "Baru kutahu di dunia ini
masih ada orang yang belum punya Alkitab! Rasanya kita di sini adalah
suku terakhir yang diberi Alkitab."
Walif mengangguk. "Tetapi tadi pagi Pendeta Musa
begitu yakin. Katanya, pasti ada orang lain yang masih sangat memerlukan
Alkitab."
"Bukan kata-katanya itu yang mengganjal di hatiku,"
Bula mengaku dengan terus terang. "Kalau ia berkata masih ada orang lain
yang memerlukan Alkitab, pasti itu benar, sebab Pendeta Musa tidak
pernah bohong. Tapi ia juga berkata, kita yang sudah punya Alkitab . . "
". . . harus turut meneruskan Alkitab kepada orang
lain," kata Walif, menyempurnakan kalimat temannya. "Yah, kata-kata
itulah yan mengganjal di hatiku juga. Apa lagi, persembahan khusus akan
dikumpulkan hari Minggu depan. Kalau aku tidak memasukkan apa-apa ke
dalam tempurung itu, . . . bagaimana?"
"Wah, malu rasanya!" kata Bula sambil mengeluh.
"Tapi . . . aku tidak punya uang."
"Aku juga tidak punya uang," kata Bula membeo.
"Dan . . ." Walif berhenti sejenak, sambil berpikir. "Nggak ada milikku yang dapat kujual."
"Memang, nggak ada . . ."
Selama beberapa menit kedua anak laki-laki suku Afrika itu duduk termenung; muka mereka masing-masing sangat sedih.
"Nanti dulu," kata Walif dengan tiba-tiba. "Bagaimana dengan ayam?"
"Ya, bagaimana?" Bula membalas.
"Sang kepala suku akan mengadakan pesta akhir bulan ini. Pasti ia mau membeli ayam."
Bula mulai tersenyum lagi. "Aku punya ayam."
"Aku juga."
"Ayam milikku sendiri," Bula menambahkan. "Kalau aku mau menjual ekor, boleh saja."
"Tetapi . . ." Sekonyong-konyong Walif kembali
bermuka masam. "Rasanya kurang enak kalau orang lain makan daging ayam,
sedangkan kita hanya makan kacang."
"Memang kurang enak," Bula mengiakan.
Lalu Bula bangkit berdiri seperti seorang tentara
cilik. "Walif, rasanya lebih kurang enak lagi kalau ada orang lain yang
belum punya Alkitab! Kalau kita dapat kirim uang seharga dua ekor ayam
kepada orang-orang di negeri yang jauh, pasti kita dapat bertahan walau
hanya makan kacang saja."
Walif juga berdiri tegak. Ia sudah siap bertindak. "Yuk, kita tangkap ayam-ayam itu!"
Kedua anak laki-laki itu berlari tunggang langgang
ke sebuah kandang yang pagarnya semak berduri. Mereka memilih beberapa
ekor ayam yang baik untuk dijual.
Lalu . . . mulailah perburuan! Kedua anak laki-laki
itu berlari dan melompat ke sana ke mari. Bula mengira ia sudah mendapat
seekor babon gemuk; ternyata ia hanya mendapat dua buluh ekor yang
panjang. Walif merasa ia sudah menangkap seekor jago, tetapi jago itu
berkeok-keok dan menggelepar sampai lolos lagi.
Ketika kedua anak itu berhasil menangkap
masing-masing dua ekor, napas mereka sudah terengah-engah. Kaki
ayam-ayam itu diikat dengan tali rumput. Lalu Bula dan Walif bergegas
pergi ke sebuah rumah kepala suku.
Tetapi yang mereka terima di sana hanyalah
kekecewaan belaka. Juru masak kepala suku itu menawarkan sejumlah uang
yang sangat kecil. "Nanti setiap anak laki-laki suku ini pasti akan
membawa ayam ke mari untuk dijual," katanya mencibir. "Apakah sang
kepala suku itu orang kaya, yang dapat membayar dengan harga kota? Sesen
pun tawaranku tadi tak akan kutambah!"
Bula dan Walif mundur dari rumah kepala suku. Mereka
duduk di bawah naungan sebuah pohon yang cukup jauh sehingga juru masak
itu tidak dapat mendengar percakapan mereka. Di sana mereka
mempertimbangkan tawarannya tadi.
Timbullah sebuah pertanyaan: "Harga kota...?", "Apa sih maksudnya...?"
Bula pergi menanyakan hal itu kepada ayahnya. Lalu ia kembali melaporkan kepada Walif.
"Wah!" cetus si Bula. "Kata Ayah, di kota orang-orang rela membayar hampir dua kali lipat tawaran si juru masak tadi!"
"Tetapi kota itu dari sini delapan puluh kilometer jauhnya," Walif mengingatkan dia.
"Minggu ini sekolah libur," kata Bula. "Kita dapat berjalan ke sana."
"Berjalan!" Si Walif melongo. "Jalan kaki? Itu 'kan pasti makan waktu dua hari!"
"Ya, dua hari." Si Bula mengangguk. "Kita sudah
sering berjalan sejauh empat puluh kilometer sehari. Lagi pula, rumah
pamanku kira-kira separo perjalanan. Kita dapat bermalam di rumah
pamanku!"
Memang Walif tahu bahwa ia dan Bula sudah biasa
bepergian jauh. Ia pun tahu bahwa paman Bula pasti akan menerima mereka
kalau menginap di rumahnya. Hanya saja . . . apakah hasilnya nanti
sepadan dengan susuah payah mereka?
"Kalau kita menjual di sini, kita hanya dapat
memberi persembahan seharga empat ekor, demi menolong orang lain
mempunyai Alkitab," kata Walif pelan-pelan sambil mengerutkan dahinya.
"Tetapi kalau kita menjual di kota, kita dapat memberi persembahan
seharga delapan ekor ayam!"
"Yuk, kita pergi!" Bula mengajak. "Persembahan kita menjadi dua kali lipat, dan kita pun bersenang-senang pergi ke kota!"
"Maksudmu, kita bersusah payah pergi ke kota," kata
Walif. Ia merintih, seolah-olah ia sudah merasakan sakit kaki. "Tapi . .
. uang persembahan kita nanti memang menjadi dua kali lipat, ya?"
Kedua anak laki-laki itu pulang dan meminta izin
kepada orang tua mereka masing-masing. Keesokan paginya mereka
berangkat. Cukup sulit perjalanan itu! Di samping empat ekor ayam,
mereka juga harus membawa bekal makanan.
Namun benar, setiba di kota, dengan mudah mereka
berhasil menjual empat ekor ayam itu. Benar juga, "harga kota" itu dua
kali lipat dengan harga yang ditawarkan oleh juru masak kepala suku.
Uang logam yang banyak itu gemerincing di tangan mereka.
Perjalanan pulang mereka sangat menyenangkan. Bula
dan Walif mengikatkan uangnya masing-masing. Dan uang itu walau cukup
banyak, terasa ringan. Langkah kedua anak laki-laki itu mantap; wajah
mereka berseri-seri.
Pada hari Minggu berikutnya, Pendeta Musa berdiri di
depan jemaatnya. Sekali lagi ia menjelaskan mengenai keperluan
persembahan khusus, yaitu agar orang-orang di negeri yang jauh dapat
memiliki Alkitab.
Tempurung itu diedarkan dari tangan ke tangan. Bula
dan Walif tersenyum lebar. Uang logam yang banyak itu kembali
gemerincing dengan keras pada saat menjatuhkannya ke dalam tempurung
yang mereka pegang bersama.
Seluruh jemaat turut bergembira; bahkan Pendeta Musa
sendiri tersenyum. Mereka semua sudah mengetahui tentang perjalanan si
Bula dan si Walif. Mereka pun tahu bahwa kedua anak laki-laki itu rela
menempuh perjalanan selama empat hari, agar dapat menjual empat ekor
ayam dengan harga dua kali lipat.
Dan pada hari itu pula, cukup banyak
uang persembahan yang dimasukkan ke dalam tempurung, oleh orang-orang
Kristen suku Afrika yang baru menyadari tanggung jawab mereka untuk
meneruskan Firman Allah kepada orang-orang lain.
TAMAT
https://misi.sabda.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar